Istilah civic space atau ‘ruang sipil’ dalam terjemahan bebas, merujuk pada akses dan perlindungan seperangkat hak asasi di bidang sipil dan politik. Ini mencakup kebebasan berpendapat dan berekspresi, berkumpul dan berserikat, serta mengakses berbagi informasi. Dalam beberapa tahun terakhir, harus diakui bahwa demokrasi dan penyempitan ruang sipil di Indonesia semakin memburuk. Berdasarkan data The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks kebebasan sipil Indonesia pada tahun 2023 turun signifikan menjadi 5,29 dari indeks 6,18 pada tahun 2022. Meski ruang-ruang berpendapat dan institusi demokrasi tak diberangus secara total, rezim kerap menggunakan cara-cara yang terselubung bahkan legal dalam menekan pihak oposisi atau yang berseberangan. Penggunaan hukum sebagai instrumen kekuasaan dilakukan dengan bentuk ancaman kriminalisasi bagi pihak-pihak yang berbeda dengan kemauan penguasa. Di sisi lain, penggunaan tindakan represif lewat aparat seperti TNI-Polri, juga dilakukan dan terus berulang. Pembubaran massa, penangkapan pembela HAM, hingga intimidasi kepada rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya.
Lebih jauh, krisis penyempitan ruang sipil tidak hanya telah merenggut sebagian besar kebebasan masyarakat, tetapi juga menjadikan para pembela HAM – kelompok yang selama ini bekerja untuk membela kebebasan sipil – sebagai kelompok rentan baru. Kondisi demikian adalah salah satu dari sekian banyak tantangan yang dihadapi organisasi masyarakat sipil (OMS) selain sejumlah tantangan lain seperti ketahanan finansial, kapasitas kelembagaan, kaderisasi, disorientasi organisasi, menurunnya kepercayaan publik, hingga tidak dapat adaptif pada perkembangan teknologi dan kemajuan global.
Di Sumatera Utara, menyempitnya ruang sipil tidak hanya ditandai dengan maraknya kriminalisasi dan ancaman terhadap para aktifis OMS. Para jurnalis juga kerap mengalami berbagai praktik kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Berdasarkan hasil monitoring KontraS Sumut sepanjang 2021 misalnya, kami setidaknya mencatat 13 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis di Sumatera Utara. Dalam amatan kami, pelanggaran terhadap jurnalis terjadi karena beberapa faktor. Pertama perlindungan terhadap kerja-kerja pers masih sangat lemah. Selain aturan hukum masih sebatas regulasi formil yang belum menjawab persoalan, sistem perlindungan melalui mekanisme internal (SOP, Panduan Keamanan dll) di perusahaan media (Khususnya media lokal) sangatlah minim. Kedua, tumbuh suburnya perusahaan media abal-abal dengan para jurnalis yang jauh dari kata profesional.
Menyikapi hal ini, KontraS bekerjasama dengan Taiwan Foundation For Democracy (2019 – Sekarang) mencoba berkontribusi dengan menyelenggarakan pelatihan, konsolidasi dan diskusi regular yang bertujuan untuk merawat dan memperkuat pelindungan hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Sasaran penguatan ini adalah kelompok-kelompok OMS, para pembela HAM dan jurnalis di Sumatera Utara.