Keberanian Agni di Universitas Gajah Mada mengungkap kasus kekerasan seksual yang dialaminya pada 2018 boleh dibilang menjadi triger bagi penyintas lain. Korban kekerasan seksual yang sebelumnya menyimpan rapat dan menanggung sendiri beban fisik dan psikis yang dialami mulai bangkit dan berani bersuara. Terbaru, dugaan kekerasan seksual terjadi pada L, seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau. Pelakunya tak lain adalah Dekan di fakultas tersebut. Kasus ini pun sudah dilaporkan ke Polda Riau. Berdasarkan keterangan Kabid Humas Polda Riau (18/11/2021), status penyelidikan telah ditingkatkan ketahap penyidikan. Dengan demikian, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Riau kini berstatus tersangka.
Kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus bukan persoalan remeh. Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan peningkatan signifikan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi sejak 2019. Mereka mencatat sepanjang 2015-2020 ada 51 laporan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. 27 persen dari angka tersebut terjadi lingkungan universitas. Di mana, pada 2015 hanya ada tiga kasus dan meningkat pesat pada 2019. Salama ini, berbagai hambatan kerap dialami penyintas dalam menuntut keadilan. Ketiadaan regulasi di internal kampus yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual menjadi salah satu penyebab. Sehingga dalam banyak kasus, penyintas yang harusnya memperoleh perlindungan dan pemulihan justru dalam posisi tertekan. Belum lagi soal sanksi terhadap pelaku yang terkadang terlalu ringan, bahkan tidak sama sekali.
Tingginya angka kasus dan sulitnya akses keadilan yang diperoleh penyintas mendorong Kemendikbud Ristek berinisiatif membuat satu kebijakan yang mengantur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Pada 31 Agustus 2021 lalu, Mendikbud Ristek pun menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Di tengah tidak kunjung disahkannya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, terbitnya Permendikbud Ristek 30/2021 sesungguhnya patut disambut baik. Melalui Permen ini, Perguruan Tinggi setidaknya didorong untuk segera melakukan langkah langkah konkret dalam hal pencegahan hingga penanganan kasus kekerasan seksual. Bahkan aturan ini juga mengatur sanksi pada kampus yang tidak mengimplementasikanya. Salah satu poin menarik dari Permendikbud Ristek 30/2021 adalah pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Garda terdepan dalam proses pencegahan dan penanganan nantinya berada dalam Satuan Tugas yang dibentuk oleh Pimpinan Perguruan Tinggi ini.
Selain fokus pada kerja-kerja pencegahan, Satuan Tugas juga menjadi semacam sentral pengaduan bagi korban kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. Belajar dari pengalaman terdahulu, para penyintas memang kerap kali kebingungan untuk melaporkan, minim perlindungan, serta tidak ada jaminan keamanan serta kerahasiaan identitas. Kehadiran Satuan Tugas dengan segala tugas dan fungsi yang diatur dalam Permen 30/2021 kiranya mampu menjawab segala kekhawatiran itu. Satu keraguan yang terbesit adalah tentang sejauh apa nyali dan independensi tim Satuan Tugas yang terbentuk di masing masing Perguruan Tinggi. Memang Pasal 35 dan 36 Permendikbud Ristek 30/2021 mengatur hal tersebut, Tapi perlu diingat, selama ini justru Perguruan Tinggi yang jadi faktor penting mengapa berbagai kasus kekerasan seksual itu mandeg. Mulai dari alasan menjaga nama baik kampus, minim perspektif korban, hingga perlindungan terhadap sesama kolega.
Besarnya peran dan urgensi Satuan Tugas untuk menangani persoalan kekerasan seksual akan menjadi omong kosong bila orang yang mengisi Satuan Tugas justru berasal dari unsur Perguruan Tinggi dengan paradigma seperti yang sudah-sudah. Sekalipun memenuhi syarat sebagaimana pasal 29(2) Permen 30/2021, namun lebih mementingkan nama baik kampus atau ketika berhadapan dengan pelaku yang merupakan koleganya/pemilik kuasa malah balik menyalahkan korban. Jika demikian, Satuan Tugas bisa diibaratkan harimau tanpa taring. Gaung besar dan kelihatan garang tapi tak bisa memangsa. Patut disayangkan, baik dalam satuan tugas maupun panitia seleksinya hanya terdiri dari unsur pendidik, tenaga pendidik, dan mahasiswa. Satu hal yang dalam hemat saya penting dilibatkan adalah unsur masyarakat sipil yang konsen dan memahami penanganan kasus kekerasan seksual. Keterlibatan unsur masyarakat menjadi penting untuk memastikan Satuan Tugas yang dibentuk bisa independen dan berperspektif korban. Apalagi dengan kehadiran Satuan Tugas, pencegahan dan penanganan kasus-kasus pelecehan seksual di Perguruan Tinggi akan menjadi satu pintu. Memang, dalam kasus yang dirasa tak memperoleh keadilan dari Satuan Tugas Perguruan Tinggi, penyintas dapat melakukan pelaporan ulang ke Kementerian. Namun, tetap saja kesimpulan dari kementerian hanya bersifat rekomendasi. Agar hal tersebut tidak terjadi, tidak salah kiranya memasukan unsur masyarakat sipil dalam panitia seleksi Satuan Tugas dan Satuan Tugas.
Membantah Soal Pasal Seks Bebas
Perdebatan mengenai terbitnya Permendikbud Ristek 30/2021 tidak jauh, cenderung sama dengan, penolakan terhadap RUU PKS. Regulasi ini dianggap melegitimasi seks bebas dengan adanya frasa ‘tanpa persetujuan. Peraturan ini jelas membahas mengenai kekerasan seksual yang berfokus pada aktivitas seksual yang berdasarkan persetujuan. Segala aktivitas yang dilakukan tanpa persetujuan baik yang berstatus berelasi atau tidak, dilakukan oleh orientasi seksual apapun adalah kekerasan seksual. Permintaan berbagi pihak untuk memasukkan pasal mengenai seks bebas tentu akan mejadikannya salah kamar.
Di masyarakat Timur seks bebas dianggap sebagai hal melangar moral. Bukan berarti hal tersebut perlu diatur dalam regulasi. Toh, dilihat dari berbagai kasus, setiap ada aktivitas seksual yang dilakukan di lingkungan kampus pasti dianggap melanggar norma oleh kampus. Apalagi mereka yang tidak memiliki kuasa apapun di kampus. Tentu mudah saja disanksi lewat peraturan akademik kampus. Jadi, tak perlu khawatir regulasi ini malah ditafsir melanggengkan seks bebas. Universitas harusnya sudah segera melakukan sosialisasi dan diskusi terbuka untuk memastikan semangat penghapusan kekerasan seksual diserap oleh seluruh civitas akademika. Pimpinan Perguruan Tinggi harus mendudukkan pemikiran bahwa tak ada tafsir legalisasi seks bebas dalam peraturan ini. Sehingga wacana soal penolakan Permendikbud Ristek 30/2021 tidak justru melebar ke hal-hal yang sesungguhnya bukan esensi utama dari mengapa Permen ini diterbitkan.
Penulis: Adinda Zahra Noviyanti