Laten Kekerasan Dalam Penegakan Hukum

Tindakan tegas dan terukur. Demikian kalimat ‘sakti’ aparat keamanan dalam mempertanggungjawabkan praktek kekerasan terhadap pelaku tindak pidana. Khusus pada kasus yang menjadi musuh publik, semisal narkoba, begal, teroris, atau separatis, cara ini bahkan populis. Dianggap prestasi dan tak jarang mendapat apresiasi.

——————————

Praktek kekerasan berbalut penegakan hukum bukanlah cerita baru. Sekalipun ada begitu banyak aturan mencegah penggunaan kekuatan berlebihan, namun peristiwa serupa selalu berulang. Dalam 3 bulan terakhir (September-desember 2020), data KontraS menunjukan terjadi 29 kasus Extrajudicial killing oleh aparat kepolisian. Lebih spesifik, KontraS Sumut mencatat 44 kasus tembak mati bagi para pelaku kriminal di Sumatera Utara sepanjang tahun 2020.

Kritik keras juga muncul selama penanganan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta kerja bulan Oktober lalu. Pendekatan represif mengakibatkan sedikitnya 5.198 peserta aksi ditangkap dengan motif pengamanan (data kepolisian per 13 Oktober 2020). Rekan-rekan jurnalis ikut jadi sasaran. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat 28 wartawan di 38 kota mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law. Perhatian publik juga menyorot penembakan 6 orang Laskar Front Pembela Islam (FPI) pada 7 Desember 2020 kemarin. Sekalipun pihak kepolisian menyatakan penembakan itu sebagai respon dari penyerangan laskar FPI, namun dilain pihak, FPI secara lantang menyatakan peristiwa itu sebagai bentuk pembantaian. Sekalipun Komnasham telah melakukan investigasi mendalam, namun polemik, spekulasi hingga asumsi liar bermunculan. Menyiratkan kerancuan atas tafsir penggunaan kekuatan.

Paradoks Penggunaan Kekuatan

Institusi kepolisan memiliki peran sebagai alat keamanan Negara. Dalam konteks penegakan hukum, menjadi pihak pertama yang berhadapan dengan pengaduan tindak pidana. Untuk itu, kepolisian memiliki semacam privelese dalam memonopoli suatu kewenangan atas penggunaan instrumen kekuatan. Fungsinya untuk dan atas nama penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Privelese itu pula yang membuat posisi kepolisian dilematis. Dalam istilahnya disebut ‘Paradox of institutional position’. Setiap kali kewenangan penggunaan kekuatan dilakukan, disana potensi pelanggaran HAM muncul. Menggunakan kekuatan untuk melindungi hak asasi manusia, tetapi justru melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.

Sejak lahirnya UU No 2 Tahun 2002, institusi kepolisian secara bertahap menyusun agenda reformasi internal. Berbagai aturan hak asasi manusia internasional diadopsi. Melahirkan sejumlah aturan internal yang diharapkan bisa menjawab posisi pardoks institusi kepolisian.

Salah satunya melalui Peraturan Kapolri (Perkap) No 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian. Penggunaan instrumen kekuatan menetapkan suatu prasyarat normatif seperti: legalitas, proporsionalitas, kebutuhan mendesak (necessity) dan akuntabel.

Lebih lanjut, sejumlah aturan diterbitkan untuk mengatur hal-hal lebih teknis dan spesifik. Semisal Perkap 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian. Menyasar hingga tahapan-tahapan penggunaan kekuatan (pasal 5), prasyarat penggunaan senjata api (pasal 8), hingga kewajiban pengisian formulir penggunaan kekuatan (pasal 14 ayat 3). Secara eksternal, dibentuk Komisi Kepolisian Nasional untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri. Melengkapi kerja Komnasham dan DPR yang juga berfungsi sebagai external oversight.

Kiranya seluruh instrumen yang dimiliki lebih dari cukup melahirkan parameter serta pengawasan untuk memecahkan problematika pengguaan kekuatan. Namun kenyatanya tidak. Setiap tahun, catatan lembaga pemantau hak asasi manusia mulai dari tingkat lokal hinga level internasional selalu menempatkan institusi kepolisian sebagai aktor utama pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia. Jenis pelanggaran paling banyak? Kekerasan.

Mayoritas pengamat sepakat bahwa secara struktur dan instrumen, kepolisian sudah jauh berubah pasca reformasi. Namun secara kultur, yang lebih menitik beratkan pada mental dan prilaku, perubahan berjalan lambat. Mengubah mindset dan perilaku bukan persoalan mudah. Imbasnya, diskresi penggunaan kekuatan kerap diterjemahkan dangan tiga kata sederhana. Tegas dan terukur.

STANDAR GANDA MASYARAKAT SIPIL

Selain soal mental dan prilaku aparat, masyarakat sipil punya andil dalam menumbuh suburkan kekerasan dalam proses penegakan hukum. Publik punya standar ganda. Disatu sisi menolak karena bertentangan dengan hak asasi manusia dan prosedur hukum. Namun dalam konteks tertentu, bersepakat. Semacam ada kepuasan, saat pelaku kriminal ditembak aparat. Seakan kekesalan, kegeraman terbalaskan. Begitupun ketika pelaku kriminal tertangkap tangan. Amukan massa tidak jarang berujung pada kematian.

Diantara celah ini aparat penegak hukum ‘bersembunyi’. Mendompleng kekesalan publik yang terlanjur menumpuk pada para pelaku. Penggunaan kekuatan berdasarkan asas legalitas, nesesitas dan proporsionalitas jadi hal nomor sekian. Pencitraan atas langkah berani dan tegas terhadap pelaku kriminal lebih utama dipertontonkan saat memberikan keterangan dihadapan publik.

Suguhan kejadian serupa, terjadi hampir setiap hari. Tanpa sadar melahirkan laten kekerasan dalam penegakan hukum. Khususnya menyasar kelompok tertentu yang menjadi musuh opini pubik, residivis kelas bawah atau masyarakat awam berkategori miskin. Kata tegas dalam konteks penegakan hukum menyempit maknanya menjadi sikap ketidakragu-raguan dalam menggunakan kekuatan, menggunakan kekerasan. Bukan bermakna keberanian menegakkan hukum pada siapa saja, tanpa terkecuali.

Pemakluman tindak kekerasan aparat dengan alasan kebencian atas tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok tertentu bukan hal bijak. Jika melihat fakta dilapangan, angka tindak pidana sama sekali tidak mengalami penurunan. Terbukti kekerasan bukan solusi menekan angka kriminalitas. Yang bermunculan justru persoalan baru seperti salah tangkap, rekayasa kasus hingga peradilan sesat

Laten kekerasan dapat dilihat dari minimnya pertanggungjawaban dan sanksi hukum pada personel yang menggunakan kekuatan berlebihan. Hanya pada kasus-kasus tertentu, seperti salah tangkap atau kasus yang mendapat sorotan publik, kemungkinan sanksi hukum terbuka. Sisanya, kecil peluang dituntut secara hukum.

Masyarakat sipil kiranya harus berada dalam posisi tegas. Menuntut pertanggungjawaban terhadap setiap penggunaan kekuatan yang dilakukan aparat. Lebih jauh, menolak segala bentuk kekerasan dalam penegakan hukum. Memanfaatkan instrumen dan mekanisme yang terbuka pasca reformasi. Sekalipun prosesnya tidak mudah, tapi seminimalnya saluran untuk memberangus laten kekerasan telah tersedia. 

Penulis: Amin Multazam 

 Aduan Online Dukung Kami