Medan, 14 Juli 2022
Eksekusi bangunan D’Caldera Coffe di Jalan Sisingamangaraja, Kota Medan pada Rabu (13/07/2022) berujung ricuh. Eksekusi yang dilakukan atas perintah Ketua PN Medan melalui penetapan No.33/Eks/2018/79/Pdt.G/2006/PN.Mdn ini ditolak oleh pemilik bangunan yang didukung sejumlah aktifis, seniman dan budayawan Kota Medan. Mereka menegaskan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 381 dan 382 milik dr John Robert Simanjuntak (pemilik cafe) masih sah secara hukum.
Menyikapi polemik tersebut, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara memberikan sorotan khusus terhadap tindakan berlebihan aparat kepolisian dalam mengamanankan eksekusi. Tindakan tersebut disinyalir telah menabrak asas nesesitas dan proporsionalitas yang seharusnya menjadi dasar kepolisian dalam menggunakan kekuatan.
Asas nesesitas dan proporsionalitas mengamanatkan aparat penegak hukum hanya boleh menggunakan kekuatan jika benar-benar dibutuhkan, atau dengan kata lain kekuatan digunakan bila tidak ada cara lain. Selain itu takaran penggunaan kekuatannya juga harus disesuaikan antara kekuatan dan besarnya ancaman yang dihadapi. Demikian disampaikan Adinda Zahra Noviyanti, Kepala Operasional KontraS Sumut.
Lebih lanjut Adinda menambahkan, dari monitoring awal KontraS, proses eksekusi yang berakhir ricuh tersebut mengakibatkan 1 orang mengalami luka dibagian mulut. Sedangkan sekitar 33 orang lagi dibawa ke Polrestabes Medan. Sebagian besar mereka adalah para seniman dan penggiat budaya di Kota Medan yang menolak eksekusi D’Caldera Coffe. Hingga Rabu (13/7/22) malam, status 33 orang tersebut masih belum jelas sebagai apa di kantor polisi.
“Temuan tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa ada yang keliru dalam praktek pengamanan kepolisian. Apalagi peristiwa-persitiwa serupa kerap terjadi berulang-ulang. Khususnya jika berkaitan dengan konteks eksekusi lahan ataupun sengketa agraria lainnya” kata Adinda
Dalam peristiwa D’Caldera misalnya, aparat kepolisian sebagai pengamanan hendaknya juga melihat bahwa dasar hukum berupa SHM yang dimiliki oleh pemilik cafe juga sebuah aturan konstitusional yang mestinya dilindungi. Begitupun protes para teman-teman seniman, aktifis dan budayawan yang menolak eksekusi, itu juga bagian dari hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat.
Situasi ini, kata Adinda, memang bukan persoalan mudah. Itulah sebabnya kepolisian perlu mengambil langkah yang bijaksana. Memposisikan diri ditengah polemik, dengan maksud mengamankan dan memastikan hak-hak konstitusional masing-masing kubu bisa terfasilitas secara baik dan benar.
“Bukan dengan kacamata kuda yang hanya melihat satu perspektif, untuk kemudian memakai kekuatan agar polemik cepat berakhir” tegas Adinda.
Sayangnya, dalam banyak peristiwa, cara kepolisian dalam menghadapi situasi seperti ini cenderung menggunakan pendekatan represif, mengandalkan senjata dan wewenang penegakan hukum yang dimiliki. Bukan memilih langkah lain, meskipun itu melelahkan dan butuh proses panjang, tapi pasti jauh lebih humanis dan menjunjung tinggi martabat manusia.
Selain itu, menurut Adinda, proses eksekusi sejatinya dilakukan oleh juru sita dari Pengadilan Negeri Medan. Kepolisian hanya berperan mengamankan. Apalagi eksekusi pengosongan bangunan itu seharusnya bisa dilakukan dengan persuasif dengan tetap memperhatikan nilai kemanusian dan keadilan sesuai dengan Surat keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 40/DJU/SK/HM.02.3/1/2019 tentang Pedoman Eksekusi Pada Pengadilan Negeri. Tapi situasi dilapangan menunjukkan gelagat, aparat kepolisianlah yang justru menjadi aktor utama dalam eksekusi. Hingga terjadi aksi saling dorong antara pihak kepolisian dan massa yang menolak eksekusi bagunan.
“Dalam kasus-kasus eksekusi lahan, Kepolisian kerapmemilih untuk dihadap-hadapkan langsung dengan masyarakat. Pada akhirnya kepolisian juga yang mendapat sorotan karena diduga melakukan kekerasan” Kata Adinda
Kejadian demikian tentu berdampak pada memburuknya citra kepolisian dimata publik. Padahal disisi lain, terdapat begitu banyak instrumen hukum serta aturan yang bisa menghindarkan kepolisian dari praktek serupa. Sebut saja Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian atau Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam kerja-kerja kepolisian.
“Segudang aturan itu pada dasarnya mendorong kepolisian untuk selalu mengutamakan pendekatan persuasif dan menjunjung tinggi HAM, bukan sebaliknya. Mengambil langkah represif untuk secepatnya mengakhiri persoalan dan membungkam protes orang” tambah Adinda.
Sorotan lain juga diberikan KontraS terhadap korban yang mengalami luka dalam peristiwa ini.Adinda mendorong akses keadilan bagi korban harus dibuka selebar-lebarnya. Mengingat saluran hukum untuk melaporkan tindakan kekerasan aparat sesungguhnya sudah terbuka lebar.
“Tinggal kita uji apakah aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, mampu atau tidak mengusut kasus ini secara professional dan transparan” kata Adinda
KontraS secara kelembagaan pada prinsipnya siap untuk mengawal korban dalam proses mencari keadilan. Membiarkan praktek kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil berjalan tanpa proses hukum, sama saja dengan melegalisasi kekerasan. Dampaknya, aparat semakin biasa menggunakan kekerasan.. Begitupun masyarakat sipil, semakin biasa mendapat kekerasan.
Bukan semata-mata untuk mencari-cari kesalahan aparat, tapi untuk memastikan tegaknya proses hukum bisa menjadi pelajaran biar peristiwa serupa tidak berulang” Tutup Adinda.