KontraS Sumatera Utara

Medan, 26 Juni 2022

Tanggal 26 Juni ditetapkan sebagai Hari Internasional untuk Korban Penyiksaan oleh PBB sejak 1987 lalu. Wujud penghormatan terhadap konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Momentum ini sekaligus dijadikan KontraS Sumatera Utara untuk merilis berbagai catatan situasi dan kondisi penyiksaan di Sumatera Utara selama satu tahun terakhir.

Pada prinsipnya, situasi penyiksaan di Sumatera Utara masih berada dalam kategori mengkhawatirkan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, Sumatera Utara masih menjadi provinsi yang dominan menyumbangkan angka penyiksaan. Dari data yang dihimpun KontraS, sepenjang Juli 2021-Juni 2022, tercatat sedikitnya 13 kasus dugaan penyiksaan yang terjadi. Demikian diungkapkan Rahmat Muhamad, Staff Kajian dan Penelitian KontraS Sumut.

Menurut Rahmat, masih tingginya angka penyiksaan ini disebabkan aparat keamanan Negara, khususnya kepolisian masih menggunakan cara-cara kuno dalam mencari alat bukti, mengejar pengakuan dalam proses penegakan hukum. Hal demikian dapat terlihat saat proses penangkapan, introgasi, hingga penghukuman yang kejam selama berada dalam tahanan.

“Negara merdeka sudah seharusnya meninggalkan praktek penyiksaan, penggunaan cara ini dalam proses hukum di indonesia menandakan bahwa penegakan hukum kita masih usang dan jauh dari keadaban” Kata Rahmat

Rahmat menambahkan, Sesungguhnya kepolisian juga memiliki instrumen yang ketat dalam proses penyelidikan dan penyidikan, selain itu mereka memiliki Perkap No. 8 tahun 2009 Tentang Implementasi HAM yang membatasi ruang gerak pelanggaran HAM dalam tindakan mereka, tetapi tetap saja mengejar pengakuan dengan menyiksa masih menjadi cara untuk mengungkap kasus.

“Padahal indonesia sudah sejak 24 tahun lalu meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Tapi tetap saja penyiksaan, penangan dan pencegahan praktek penyiksaan masih jauh dari harapan” Kata Rahmat

Kerap kali penggunaan kekuatan dalam motif penegakan hukum tidak dilakukan secara akuntabel. Hal ini berdampak pada ketidakjelasan tafsir tindakan tegas dan terukur. Menabrak prinsip legalitas, nesesitas dan proporsionalitas yang harusnya selalu dijunjung tinggi oleh kepolisian. Hal ini diperparah dengan lemahnya peran pengawasan eksternal melalui peran lembaga Negara lain seperti Komnasham dan Kompolnas.

“Dari banyak laporan kasus, peran Komnasham, LPSK, Kompolnas, hingga Ombudsman untuk mendorong pencarian keadilan kasus penyiksaan semakin hari justru kami rasakan semakin meredup” tegasnya.

Salah satu yang mendapat sorotan KontraS adalah maraknya dugaan praktek penyiksaan yang terjadi didalam sel kepolisian. Bagaimana sadisnya dugaan penyiksaan dan pelecehan seksual yang dialami Hendra Syaputra di bulan November lalu bisa menjadi contoh. Tragisnya korban di siksa oleh sesama tahanan dengan perintah oknum polisi. Kasus tersebut saat ini sedang memasuki tahap persidangan.

“Kepolisian sudah memiliki beberapa aturan internal terkait pengurusan tahanan seperti Perkap 4/2005 Tentang Pengurusan Tahanan pada Rumah Tahanan Kepolisian Republik Indonesia maupun Perkap 4/2015 Tentang perawatan tahanan dilingkungan kepolisian yang seharusnya sudah lebih dari cukup menjamin pemenuhan hak tahanan sesuai dengan prinsip HAM” tegas Rahmat.

Harus diakui, proses pencarian keadilan bagi para tahanan korban penyiksaan memang cukup sulit. Selain terkendala dalam soal pembuktian, proses hukum juga memakan waktu yang tidak sebentar. Dukungan publik pun kadang tidak sepenuhnya didapatkan. Terlebih lagi terhadap tahanan dengan kasus yang selama ini jadi musuh publik.

Sulitnya pencarian keadilan menyebabkan korban menjadi putus asa dan kehilangan semangat. Itu sebabnya opsi perdamaian sering jadi pilihan instan yang diterima pihak korban. Proses hukum yang harusnya diberikan kepada pelaku tidak tercapai. Konsekuensinya, tidak ada efek jera dan kasus-kasus serupa justru kembali bermunculan”  tambah Rahmat.

PENYIKSAAN DI KERANGKENG RUMAH BUPATI

Catatan situasi penyiksaan di Sumatera Utara dalam satu tahun terakhir ini semakin kelam dengan temuan kerangkeng manusia di Rumah Bupati Langkat Non Aktif, Terbit Rencana Perangin-angin. Peristiwa ini semakin membuka mata publik bahwa aktor penyiksaan bukan hanya aparat keamanan saja, tetapi juga potensial dilakukan, diprakarsai oleh pejabat publik lain.

“Kerangkeng manusia Langkat merupakan laboratorium penyiksaan, perbuatan merendahkan harkat martabat kemanusia, dan merenggut hak hidup seseorang pula, eksisnya kejahatan kemanusiaan yang dibalut motif pembinaan adalah suatu bukti bahwa afiliasi kekuasan telah melanggengkan praktek tersebut” Ungkapnya

Rahmat menekankan, proses hukum atas kasus kerangkeng harus berjalan secara professional dan transparan. Keseriusan mengusut tuntas kasus ini bisa menjadi satu contoh positif bagaimana Negara mampu berlaku tegas dalam mengungkap kasus-kasus penyiksaan. Selain itu, ia memandang penuntasan kasus kerangkeng manusia bukan hanya diprioritaskan dari sisi penegakan hukum saja, tapi juga harus menggunakan perspektif perlindungan dan pemulihan hak-hak korban.

“Bayangkan sejak kerangkeng manusia Langkat berdiri pada tahun 2012 diduga Ada 600- an orang yang diduga menjadi korban penyiksaan dan perbudakan, dimana 6 diantara diketahui meninggal dunia. Artinya ini bukan cuma cerita menghukum pelaku, tapi juga bagaimana memenuhi hak korban” Tambah Rahmat

KontraS berharap, ditengah situasi penyiksaan yang semakin mengkhawatirkan, masyarakat sipil mulai memberikan atensi besar atas praktek penyiksaan. Mengubah cara pandang bahwa menyiksa bukanlah solusi penegakan hukum yang mampu mengurangi praktek kejahatan. kampanye Anti penyiksaan bukan berarti kita mendukung para pelaku kejahatan. Tapi lebih kepada proses hukum yang dijalankan haruslah sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. Sebab, dari pengalaman banyak kasus,  penyiksaan dan penggunaan kekuatan justru menyasar pada rekayasa kasus, salah tangkap dan penghukuman sepihak.

“Yang harus diperbaiki adalah Criminal Justice System kita, mulai dari hulu di kantor polisi hingga hilirnya di lembaga pemasyarakatan. Barulah penegakan hukum dan langkah meminimalisir kejahatan bisa berkurang” Tutup Rahmat

Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *