Medan, 10 Maret 2022
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mendesak pihak Kepolisian Daerah Sumatera Utara untuk segera memastikan penegakan hukum kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Non-aktif Terbit Rencana Perangin-Angin (TRP). Pasalnya, sejak penemuan kerangkeng pada bulan Januari lalu, kepolisian bersama Komnasham dan lembaga-lembaga lain sudah merilis berbagai temuan yang cukup komprehensif.
“Sudah lebih satu setengah bulan sejak
kerangkeng ditemukan, namun
masih belum ada juga penetapan tersangka bagi para pelaku yang diduga terlibat”, kata Adinda Zahra
Noviyanti, Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS Sumut.
Dari update monitoring kasus yang KontraS
lakukan sejauh ini, Dinda mengatakan hingga minggu pertama bulan Maret 2022,
pihak kepolisian baru menaikan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan.
Itupun secara spesifik terkait konteks temuan penghuni yang meninggal selama
berada dalam kerangkeng. Lambatnya penetapan tersangka dalam kasus kerangkeng manusia
milik TRP patut dipertanyakan.
Menurut Dinda, penetapan tersangka menjadi
satu poin penting untuk menakar komitmen kepolisian dalam melakukan penegakan
hukum kasus ini. Apalagi pihak kepolisian sudah memeriksa
sebanyak 70 saksi, menyita
sejumlah barang bukti serta melakukan ekshumasi dan autopsi. Bahkan hasil autopsi juga sudah
didapatkan.
Selain mendorong sesegera mungkin
penetapan tersangka, Dinda juga menyampaikan beberapa catatan KontraS Sumut
dalam menyikapi berjalannya proses hukum kasus kerangkeng manusia milik bupati
langkat non aktif tersebut. Salah satunya adalah pemenuhan hak bagi para
penghuni kerangkeng (korban) dan perlindungan bagi saksi.
“Ada sekitar 57 orang yang terdata terakhir di dalam kerangkeng sebelum ditemukan. Harus dipenuhi haknya, baik itu dalam bentuk pemulihan fisik
maupun psikis. Selama
ini, semua cenderung fokus pada penegakan hukum, negara sampai lupa bahwa ada hak-hak korban yang harus
dipenuh” tambahnya.
Para korban perlu
dipulihkan psikisnya karena mengalami berbagai tindakan tidak manusiawi.
Mengingat banyak korban yang merupakan orang-orang dengan permasalahan sosial
yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab negara, terutama yang berusia anak. Berikutnya, ada korban meninggal
yang juga harus dipenuhi hak bagi keluarga korban apakah itu dalam bentuk
restitusi ataupun kompensasi.
Ia menambahkan LPSK
juga harus proaktif dalam memberikan akses keadilan bagi saksi dan korban yang
telah melapor kepada kepolisian. Dengan demikian, kendala pengungkapan kasus yang diakibatkan adanya ketakutan dari korban maupun saksi
yang mengetahui keberadaan dan tindakan di luar batas kemanusiaan di kerangkeng
itu bisa diminimalisir.
Hal lain yang menjadi sorotan KontraS
adalah terkait temuan keterlibatan oknum Polisi dan TNI dalam kasus kerangkeng
manusia. Dinda menegaskan kepolisian melalui Bidang Propam, maupun TNI melalui POM, wajib bertindak cepat dalam melakukan pemeriksaan terhadap personelnya yang
terlibat.
“Poin pentingnya, proses
hukum bagi aparat Polisi dan TNI yang diduga terlibat harus dilakukan secara
professional dan transparan. Sehingga publik bisa mengetahui siapa, bagaimana dan
sejauh apa bentuk keterlibatan mereka. Ini diperlukan agar tidak malah jadi asumsi liar yang
justru makin merusak citra Polisi dan TNI dihadapan publik” ujarnya.
Catatan terakhir, Kata Dinda, KontraS menilai kasus kerangkeng manusia
ini bukan sekadar tindak pidana biasa. Dari pola dan bentuk pelanggaran yang terjadi, Ia mengatakan lembaganya melihat apa
yang terjadi di kerangkeng milik Bupati Langkat bisa masuk kategori pelanggaran HAM Berat. Jika demikian, maka bukan tidak mungkin diadili menggunakan
mekanisme pengadilan HAM.
Mengacu kepada
Undang-Undang 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran yang dapat diseret
adalah pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan kemanusian
lain. Kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam UU ini adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk
sipil.
“Bentuknya bisa banyak,
pembunuhan, perbudakan, penyiksaan, dan perampasan kemerdekaan seperti yang
diduga terjadi di dalam kerangkeng manusia adalah beberapa contohnya” tegas Dinda.
Ia menambahkan, unsur meluas dan
sistematik menunjukkan pada keterlibatan otoritas yang memegang kekuasaan sehingga terjadi pelanggaran. Sebagaimana diketahui, dalam kasus kerangkeng milik
Bupati Langkat, keterlibatan otoritas pemegang
kekuasaan sangat jelas. Di situ ada Bupati
Langkat, pejabat pemerintah
lain, hingga aparat keamanan Negara.
Jika melihat pada
instrumen HAM internasional,
istilah meluas merujuk pada jumlah. Dari temuan Komnas HAM setidaknya ada 6
orang meninggal dunia. Angka ini
belum termasuk korban fisik dan trauma psikis. Ini belum lagi korban yang tidak
memiliki keberanian untuk mengungkap penyiksaan yang dialaminya selama berada
di dalam kerangkeng. Sebuah catatan yang KontraS Sumut temukan di ruangan
kerangkeng setidaknya sudah ada 433 orang yang tercatat pernah mendiami
kerangkeng tersebut. Angka
yang disebutkan Polda dan Komnas HAM bahkan jauh lebih banyak dari itu.
Satu hal yang pasti, kata Dinda, kepastian hukum yang mampu memenuhi rasa keadilan bagi korban, sekaligus langkah konkrit dari Negara dalam melakukan perlindungan HAM merupakan fokus utama. Bahwa Keberadaan kerangkeng manusia itu tidak sekedar melanggar aspek perizinan dan tindakan yang melampaui kewenangan. Beroperasinya kerangkeng secara tegas telah merenggut hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights) seperti hak untuk tidak disiksa, hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani serta hak untuk tidak diperbudak sebagaimana diatur oleh pasal 28I UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Berlangsung selama lebih 10 tahun, didukung dan difasilitasi oleh otoritas kekuasaan, jumlah korban tidak sedikit dan berasal dari berbagai daerah. Tentu ini bukan sekedar tindak pidana biasa” Tutup Dinda.