Persoalan agraria di Indonesia tidak pernah lepas dari cerita sejarah pertarungan antara rakyat dan korporasi dalam hal pemanfaatan sumber daya alam (SDA). Pada era kolonial misalnya, melalui Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarisch Wet), pemerintah Hindia Belanda secara tegas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas erfpacht selama 75 tahun.
Ann Laura Stoler dalam bukunya Kapitalisme Dan Konfrontasi Di Perkebunan Sumatera 1870-1979 mencatat, pada tahun 1889 khusus di Sumatera Timur saja sudah ada 179 kebun tembakau yang tumbuh. Situasi yang kemudian memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit (kelas bangsawan) maupun masyarat biasa. Memang di beberapa daerah tidak jarang pula ditemui golongan bangsawan (raja) yang bekerjasama dengan pihak korporasi dalam memberikan akses atas tanah di wilayah kekuasaannya. Namun tetap saja dalam situasi demikian, rakyat berada dalam posisi paling tertindas, tercerabut dari akses atas tanah dan harus bekerja sebagai buruh diatas tanah airnya.
Atas alasan ketidakadilan itu pula, para founding father mencoba mencari formulasi paling ideal dalam rangka mengentaskan ketertindasan Bangsa Indonesia dalam persoalan agraria. Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 pada awalnya adalah jawaban atas segudang persoalan agraria bagi bangsa. Ya, sejak dikeluarkannya UUPA pada tahun 1960, semua peraturan perundangan-undangan yang didasarkan pada Agrarisch Wet 1870 dinyatakan tidak berlaku. Dari sana pula dikenal sebuah konsep politico-legal baru yang disebut “Hak Menguasai Negara” untuk menggantikan konsep Azas domein Negara yang sangat fasih dimengerti oleh para founding father sebagai sumber ketidak adilan bagi rakyat Indonesia. Berdasarkan prinsip-prinsip “Hak Menguasai Negara”, pemerintah pusat dan daerah diberikan kewenangan mengeluarkan berbagai izin penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria di Indonesia. Konsep tersebut berpangkal sekaligus bertujuan untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3, khususnya pada frasa “dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Spirit awal lahirnya UUPA 1960 ditujukan untuk menempatkan Negara Indonesia sebagai bentuk pemenuhan hak rakyat atas akses tanah yang selama masa kolonial tidak dirasakan.
Bergantinya rezim (orde lama menjadi orde baru) membawa sebuah perubahan paradigma pembangunan yang begitu besar di Indonesia. Rezim Orde Baru menganut pola pertumbuhan ekonomi kapitalistik sebagai tujuan utama pembangunan. Tanah dan sumber daya alam adalah obyek yang harus dieksploitasi sebesar mungkin dalam tujuan menciptakan kemakmuran. Penyediaan lahan besar-besaran, baik untuk investasi ataupun untuk tujuan pembanguan ekonomi menciptakan ketimpangan penguasaan tanah yang sangat besar. Konsep UUPA tentang “Hak Menguasai Negara” atas tanah dan sumber alam kemudian dipakai untuk tujuan tujuan tersebut.
“Hak Menguasai Negara” atas tanah dan sumber daya alam lantas menjadi dasar bagi lahirnya Undang-Undang Kehutanan tahun 1967 dan Undang Undang Pertambangan 1967. Kedua undang-undang tersebut memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk mengeluarkan izin konsesi hutan dan tambang bagi eksploitasi hutan dan sumber mineral di Indonesia. Konsesi-konsesi tersebut berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan untuk Tanaman Industri(HPHTI), Kontak Karya (KK) pertambangan dan Kuasa Pertambangan (KP) adalah bentuk konsesi bagi beroperasinya berbagai korporasi berskala besar. Belum lagi terbitnya undang-undang Penaman Modal Asing (PMA) dan Penamaman Modal Dalam Negeri (PMDN), yang secara khusus memberikan kewenangan pada korporasi asing maupun dalam negeri melakukan ekploitasi pada sumberdaya alam Indonesia. Akhirnya, “Hak Mengguasai Negara” menjadi satu momok menakutkan bagi masyarakat, tak ubahnya asas Domein Verklaring yang dikenal saat era kolonial.
Pasca reformasi (sekarang), pola-pola penguasaan tanah milik masyarakat mengatasnamakan prinsip “Hak Menguasai Negara” masih kerap kita temui. Fenomena bagaimana perampasan tanah “dibenarkan” melalui proses “negaraisasi” tanah-tanah rakyat. Atas dasar definisi tanah negara, pemerintah dengan mudah memberi hak-hak baru bagi sejumlah korporasi dan disisi lain membiarkan masyarakat petani hidup tanpa tanah. Situasi yang semakin menimbulkan ketimpangan kepemilikan tanah, yang dalam tafsiran para ahli sebagai penyebab konflik agraria tidak kunjung padam. Belum lagi fenomena maladministrasi dalam penerbitan HGU, serta janji-janji palsu membangun kebun plasma sebagaimana amanat UU No 39 tahun 2014 oleh pihak korporasi yang telah ‘memakai’ tanah masyarakat turut melengkapi penderitaan.
Pemaknaan “Hak Menguasai Negara” harusnya diartikan sebagai bentuk tanggung jawab Negara dalam memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mengakses tanah serta memastikan bahwa individu-individu tersebut memperoleh perlakuan adil. Petani, masyarakat miskin, dan masyarakat hukum adat adalah beberapa contoh masyarakat yang perlu memperoleh perhatian dan perlakuan khusus yang menjamin hak-hak mereka atas tanah, sehingga mampu memiliki kedudukan yang setara dengan korporasi-korporasi besar. Sebagaimana Negara berfungsi untuk melindungi segenap rakyatnya, itu sebabnya Negara diberikan kewenangan untuk menguasai.
Jika bukan demikan, lantas bagaimana pertanggungjawaban “Hak Menguasai Negara” yang semangatnya merupakan perwujudan demi dan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat? Bukankah kenyataan dilapangan menunjukkan kewenangan sedemikian besar itu justru menjadi bencana bagi rakyat. Ya, mereka terpaksa angkat kaki dari tanahnya, sebab sudah berganti jadi hak korporasi bermodal besar atas dukungan “kartu sakti” dari pemerintah bernama: “Hak Menguasai Negara”.
Penulis: Amin Multazam