Medan, 27 Maret 2022
KontraS Sumatera Utara menyesalkan terbitnya Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Karo Nomor 03 tahun 2021 Tentang Penyediaan Dan Pengelolaan Kawasan Penggembalaan Umum. Pasalnya, lahan seluas 682 Ha di Mbal-Mbal Nodi, Desa Mbal-Mbal Petarum, Kecamatan Laubaleng Kabupaten Karo, kini diperuntukan menjadi kawasan pengembalaan. Padahal sejak zaman dulu, areal tersebut juga digunakan masyarakat setempat sebagai lahan pertanian produktif.
Pembentukan PERDA yang harusnya memihak pada kepentingan rakyat, menjunjung tinggi HAM, berwawasan lingkungan dan budaya justru potensial melahirkan persoalan baru ditengahmasyarakat. Ini yang tentunya sangat kita sayangkan. Demikian disampaikan Koordinator KontraS Sumatera Utara, Amin Multazam.
Menurut Amin, polemik ini diketahui KontraS melalui laporan Lembaga Masyarakat Hukum Adat (Simantek Kuta) Desa Mbal-Mbal Petarum. Mereka saat ini dalam posisi terjepit, terintimidasi dan dipaksa meninggalkan tanah nenek moyangnya dengan alasan telah terbitnya PERDA Kabupaten Karo No 03 Tahun 2021. Batas waktu yang diberikan untuk mengosongkan lahan hingga 31 Maret 2022.
“Informasi yang kami dapat, sudah 2 kali terbit surat teguran yang intinya mendesak masyarakat mengosongkan lahan, tidak bercocok tanam kembali serta membuka pagar yang sudah dibuat secara sukarela” tambah Amin.
Situasi demikian, kata
Amin, tidak lain merupakan bentuk legalisasi atas perampasan tanah ulayat,
Kekuasaan dan kewenangan dalam menerbitkan aturan justru digunakan untuk
melegalkan perampasan tanah yang sudah dikelola masyarakat sejak turun temurun. Pendekatan ini bahkan jauh lebih berbahaya dari cara-cara lama yang menggunakan kekuatan paksa aparat keamanan.
“Perlu diingat, jauh sebelum PERDA itu terbit, masyarakat Mbal-Mbal Petarum sudah menggantungkan hidup dan kehidupannya dengan mengelola tanah tersebut. Ajaib, jika malah mereka yang dianggap sedang melawan hukum” tegasnya.
KRONOLOGIS
Dari kajian yang KontraS lakukan, Polemik pemanfaatan Mbal-Mbal Nodi yang merupakan tanah ulayat Masyarakat Adat Mbal-Mbal Petarum bukanlah masalah baru. Bermula dari tahun 1973, terbit Keputusan Kepala Daerah Kabupaten Karo Nomor Nomor 6/III/973 tentang penetapan Mbal-Mbal Nodi yang terletak di Kecamatan Mardinding (saat itu masih bagian Kecamatan Mardinding) sebagai Perjalangan Umum.
Bagi masyarakat, Keputusan Kepala Daerah Kabupaten Karo Nomor Nomor 6/III/973 ketika itu ditentang dan dinilai cacat hukum. Hal ini disebabkan beberapa faktor, mulai dari pemohon (yang meminta penetapan peruntukan tanah) bukanlah pemangku ulayat hingga beberapa kejanggalan seperti kop surat maupun penandatangan yang dilakukan oleh PJ Sekda Kabupaten Karo saat itu.
“Artinya, sejak tahun 1973 hingga sekarang,
masyarakat Mbal-Mbal Petarum tetap mengelola tanah Nodi sebagai lahan pertanian
produktif. Sebagian masyarakat lain juga
mengusahakannya untuk pengembalaan ternak. Masing-masing pihak saling menjaga satu sama lain demi menghindari konflik horizontal” jelas Amin.
Anehnya, pada tahun 2018, Pemkab Karo kembali mengeluarkan Keputusan Bupati Karo Nomor 520/444/Pertanian/2018 tentang Penetapan Luas Tanah Penggembalaan umum Nodi Desa Mbal-Mbal Petarum, Kecamatan Laubaleng seluas 682 Ha. Lagi-lagi, Lembaga Masyarakat Hukum Adat Desa Mbal-Mbal petarum tidak merasa dilibatkan dalam keputusan ini. Bahkan salinan keputusan bupati Nomor 520/444/Pertanian 2018 tidak mereka miliki.
“Padahal sejak 2014, masyarakat Desa Mbal-Mbal Petarum telah membentuk Lembaga Masyarakat Hukum Adat (Simantek Kuta) Mbal-Mbal Petarum” ujarnya
Belum selesai polemik atas terbitnya dua keputusan Bupati Karo sebelumnya (SK Bupati 1973 dan 2018), Tahun 2021 Pemkab Karo justru kembali mengeluarkan kebijakan sepihak terkait tanah adat masyarakat Mbal-Mbal Petarum. Kali ini melalui PERDA Nomor 3 Tahun 2021 yang menjadikan Keputusan Kepala Daerah Kabupaten Karo Nomor Nomor 6/III/973 dan Keputusan Bupati Karo Nomor 520/444/Pertanian/2018 sebagai pertimbangan.
“Runutan peristiwa
tersebut menunjukkan buruknya proses legislasi kita. Baik Pemkab Karo sebagai
eksekutif, maupun DPRD Karo sebagai perwakilan rakyat malah melahirkan
kebijakan yang semakin memperkeruh keadaan” tegas Amin
LANGKAH PENYELESAIAN
Dalam kacamata KontraS, polemik diatas tanah ulayat masyarakat Mbal-Mbal Petarum sangat potensial menimbulkan konflik berkepanjangan. Baik itu antara Masyarakat adat dan Pemerintah maupun antara masyarakat petani dan peternak. Untuk itu, semua pihak perlu melakukan langkah langkah cepat dan efektif dalam mencari solusi penyelesaian.
Sejauh ini KontraS, berbekal pengaduan Lembaga Masyarakat Hukum Adat (Simantek Kuta) Mbal-Mbal Petarum sudah berupaya meminta atensi berbagai pihak seperti Komnasham, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, DPRD Provinsi, dan Polres Karo untuk ikut terlibat dalam mencari solusi permasalahan serta menghindarkan konflik yang lebih besar di tengah-tengah masyarakat
Amin menegaskan, pihak yang paling bertanggung jawab untuk segera menyelesaikan polemik adalah Pemkab Karo dan DPRD Karo. Untuk itu, Ia mendesak kedua institusi tersebut untuk membatalkan tenggat waktu pengosongan lahan tanggal 31 Maret 2022 sebagaimana surat teguran yang dikirimkan ke masyarakat. Memaksakan kebijakan secara sepihak hanya akan menimbulkan persoalan yang lebih besar ditengah-tengah masyarakat.
KontraS juga mendorong dilakukanya pengkajian ulang penetapan Mbal-Mbal Nodi sebagai kawasan Pengembalaan Umum. Selain perumusannya wajib melibatkan partisipasi masyarakat, panduan penetapan kawasan pengembalaan umum harusnya mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian No 17 Tahun 2021. Jika tidak, PERDA Kabupaten Karo No 03 Tahun 2021 sudah sepatutnya dicabut.
“Yang dibutuhkan bukan sekedar sosialisasi
PERDA yang sudah jadi, seperti yang selama ini dilakukan Pemkab Karo dan
jajaran, subtansinya ada pada saat perumusan yang harusnya melibatkan dan
memperhatikan kepentingan rakyat sebagaimana amanah Undang-Undang” tutup Amin