×


Siaran Pers


Medan, 6 September 2022

 

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara mengecam tindakan represif aparat kepolisian dalam mengendalikan massa aksi "Menolak Kenaikan  Harga BBM" di depan Gedung DPRD Kota Pematang Siantar, Senin 5 September 2022. Banyaknya pembubaran paksa disertai dengan tindakan berlebihan terhadap demonstrasi justru memperlihatkan bahwa Kepolisian menjadi alat mengkerdilkan ruang kebebasan sipil.

 

Kepolisian harusnya hadir untuk melakukan pengaman dengan tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bukan justru melakukan cara-cara yang intimidatif untuk membubarkan massa aksi. Hal tersebut disampaikan oleh Adinda Zahra Noviyanti, Kepala Operasional KontraS Sumut.

 

Aksi puluhan mahasiswa tersebut adalah wajar dilakukan sebagai respon kemarahan mereka atas harga bahan bakar minyak (BBM), yang dirasa akan mencekik ekonomi masyarakat kecil. Tindakan mereka dalam menyuarakan pendapat jelas merupakan hak atas amanat Konstitusi dan Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

 

Selain itu Dinda menambahkan, Indonesia juga telah meratifikasi instrumen internasional terkait Kovenan Hak Sipil dan Politik serta UU Nomor 39 Tahun 1999 yang menjamin hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Berbagai aturan tersebut harusnya menjadi acuan kepolisian untuk tidak bertindak sewenang-wenang.

 

Dari pemantauan awal KontraS Sumut, ricuh aksi unjuk rasa tersebut mengakibatkan 4 orang luka. Satu diantaranya sempat dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka bakar akibat tembakan gas air mata. Penembakan gas air dilakukan kepolisian dengan mengarahkan langsung massa aksi dari berjarak hanya sekitar 4 meter.

 

“Adanya tindakan berlebihan untuk membubarkan massa aksi adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi. Sangat disayangkan bahwa upaya damai mahasiswa justru direspon dengan tindakan berlebihan.” Kata Dinda.

 

Padahal dalam upaya pengendalian massa sesungguhnya Kepolisian telah memiliki Instrumen yang ketat, yakni Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Massa. Namun sayangnya instrumen itu jelas tidak dilakukan dalam konteks pengamanan massa aksi di Siantar.

 

Dalam penerapan kekuatan, kepolisian sesungguhnya juga telah memiliki Perkap Nomor 1 tahun 2009 penggunaan kekuatan dalam tindak kepolisian. Namun kepolisian kerap kali bertindak tidak sesuai dengan prinsip nesesitas dan proporsionalitas.

 

“Kepolisian harusnya malu karena telah berkali-kali mengangkangi aturan-aturannya sendiri.  Saat ini citra Kepolisian sedang di ujung Tanduk, Janganlah ditambahkan lagi dengan tindakan-tindakan arogan dilapangan, hal ini akan semakin memperkeruh buruknya citra kepolisian di mata publik”

 

Menurut Dinda harus ada evaluasi mendalam di internal kepolisian pada setiap pengendalian massa aksi. Kapolri harus turun tangan dengan memberikan instruksi pada jajaran di bawahnya untuk memastikan penerapan prinsip HAM dalam pengendalian massa aksi.

 

Dinda mengingatkan agar jangan sampai aturan-aturan yang mencantumkan tentang implementasi prinsip HAM dalam kinerja kepolisian hanya menjadi aksesoris yang tidak terpakai semata.

 

“Mengingat peristiwa ini bukan hanya terjadi di Siantar namun juga di berbagai daerah di Indonesia. Jangan sampai preseden buruk banyaknya korban pada aksi "Reformasi Dikorupsi" pada 2020 terulang kembali.” Tegasnya.

 

KontraS Sumut juga mendesak pihak kepolisian memberikan akses keadilan selebar-lebarnya bagi para mahasiswa yang menjadi korban dalam penggunaan kekuatan berlebihan. Terkait hal ini, KontraS Sumut akan membuka hotline pengaduan bantuan hukum bagi massa aksi "Tolak Kenaikan Harga BBM" yang menjadi korban kekerasan aparat melalui Whatsapp 0822 3331 1967.

 

 

Hormat Kami,

Badan Pekerja KontraS

Sumatera Utara

 

 

Adinda Zahra Noviyanti

Kepala Operasional